Orang-Orang Bogota dan Sandiwara Mereka di Atas Panggung
Baca Juga
![]() |
Istimewa |
Tak ada siapapun yang akan berkata jujur padamu di jalanan
manapun di Bogota. Mungkin kau pernah melihat beberapa pesulap yang memamerkan
trik-trik murahnya padamu di dekat halte bus, di tengah keramaian, selagi kau
berjalan pulang dari suatu tempat.
Namun, bukan tidak mungkin mereka hanya mengalihkanmu hanya untuk mengambil isi
dompetmu maupun dompet siapapun yang terkadang hanya berisi beberapa lembar
peso di dalamnya. Jangan pula terkejut apabila di jalanan kau akan menemukan
seseorang yang menawarimu sebotol anggur merah dengan harga murah yang pekatnya
mengingatkanmu dengan darah-darah kaummu yang pernah tumpah pada insiden Ambarawa
yang juga mengambil kakekku sebagai tumbal pada Nopember 1945 yang lalu.
Padahal bisa saja sang penjual darah jalanan itu telah mencampurnya dengan
sesuatu yang lain di dalamnya untuk mengambil untung atas apa yang nantinya akan
kau beli dan menjadi pendamping santapanmu selagi kau menikmati makan malam.
Tentu pada hari ini yang selalu dipenuhi dengan perkelahian
antar geng di tanah lapang dan sekilas beberapa mobil polisi melintas menghiraukan
perkelahian mereka, aku tak perlu terkejut. Sudah lama cerita polisi sebagai
kawannya penjahat menjadi dongeng tidur bagi anak-anak yang tinggal di bangunan
kumuh yang terletak di beberapa pojokan gang-gang di Bogota. Dan sama dengan
hari-hari yang lain, aku juga mulai terbiasa dengan petasannya teroris yang
kadang tiba-tiba memetas beberapa meter di depanku. Di sini tak ada yang tahu
kapan kau tiba-tiba akan menerima petasan ataupun kapan kau akan diajak bermain
untuk jadi pelemparnya.
Andai saja kalau bukan untuk menerima ajakan Sonya yang
mengajakku tinggal di rumahnya dan meninggalkan Jakarta yang membesarkanku sebagai
orang mlarat, meski memiliki pekerjaan yang tetap, aku mungkin tak sudi untuk
tinggal di kota yang seolah ditelantar Kristus ini. Atau andai saja aku juga
tak terlalu berharap lebih dengan Bogota untuk menjadi pelarianku dari Jakarta,
kota kriminal, mungkin aku tak akan sekecewa ini. Justru beberapa kejadian di
sini malahan seperti potret yang mengingatkanku dengan kota asalku. Bahkan jauh
lebih buruk. Tentu tak salah apabila setelah berpisah dengan Sonya aku pun
memutuskan untuk tinggal di tempat yang lebih baik pula. Meski alasan kami
pisah yang sebenarnya adalah karena sikap Sonya sendiri.
“Ayolah, Sonya, apa kau begitu tega padaku membiarkan egomu
memutuskan hubungan kita?” tanyaku setelah Sonya mengepaki pakaian-pakaianku
dari apartemen kecilnya dua bulan yang lalu.
“Tentu saja. Apa kau pernah tak tega kepadaku, Dito? Lebih
baik kita tak saling bicara kalau memang tak perlu,” desis Sonya dengan nadanya
yang sinis dan enggan memandang wajahku.
Tak ingin mendebat lagi wanita cantik yang tiap malamnya
dulu sering sengaja setengah mencumbuku dengan selingan tarian nakalnya yang
membiarkan birahiku mengkhayal sendiri pikiran kotornya, aku dan Sonya justru
lebih tertarik dengan telepon genggamku yang berdering dan menggurat nama Karen
di layar. Dan sebentar lagi aku pun tahu akan seperti apa Sonya meresponnya.
“Kau tak perlu malu untuk mengangkatnya. Kita akan sudah
berpisah dan kau sudah bebas bersamanya.”
Entah kenapa segala celotehan yang Sonya mimbarkan tentang
Karen dan aku, aku tak pernah bisa mendebat balik. Aku bahkan tak pernah menang
sekalipun ketika mendebatnya, bahkan untuk masalah yang kecil. Pada saat
semacam itu, kalau saja kami masih bersama, biasanya Sonya akan terus
memekikkan suaranya tinggi-tinggi dan menggempurkan popor pistolnya ke kepalaku
untuk menggertak, mengingatkanku pada dongeng ‘Sebongkah Kayu’ yang diceritakan
ibuku dimana kakekku sendiri yang menjadi tokoh utamanya. Aku justru terkenang
pada sebongkah kayu lapuk yang bertengger di dinding joglo kami di Ambarawa.
Kayu itu bahkan sudah ada sebelum aku dilahirkan, dibiarkan begitu saja
bertengger di dinding sampai guratan-guratan kecilnya melapuk sendiri dilumat
waktu. Dari dongeng ibu aku tahu sebongkah kayu itu adalah milik kakek yang
tadinya akan dipahat menjadi gasing mainan untuk kado ulangtahun ibuku yang ke
sembilan.
Tapi sebongkah kayu itu masih menjadi sebongkah kayu karena
belum sempat dibilah dan diukir menjadi mainan masa kecil ibu. Kakek sudah terlanjur
mati. Kepalanya digempur popor pistol dan ditembak ditempat. Tak seperti Sonya
yang terus memberiku kesempatan hidup dan tak pernah berani menarik pelatuk
senjata legalnya yang sering menjadi pegangannya kemanapun ia pergi.
“Kau benar-benar laki-laki yang berengsek, Dito. Kau pikir
aku adalah kuda liar yang kau temukan di savana gundul yang kemudian kau
jinakkan agar bisa kau tunggangi tiap malam? Apakah dua tahun berada di sini
dan kau menemukan kawanan barumu, kau pun tiba-tiba menjelma dan membaur
bersama mereka bergabung menjadi manusia-manusia busuk Bogota lainnya? Kau
pikir aku tak tahu kau juga sempat mengadakan pesta kecil berdua dengan Karen
di dalam jip mu? Dan kau sengaja membiarkan radio memainkan lagu kesukaanmu
River Deep Mountain High hanya agar tetangga-tetangga kita tak memergokimu
sedang bercumbu dengan wanita lain di dalam mobil, namun sayangnya aku tahu
itu.”
Aku tak pernah menyesal tak menjawab berondongan
pertanyaannya itu. Aku tahu ia hanya sedang bersandiwara dan memberiku peran
antagonis agar tetangga-tetangga apartemennya berpikir aku memang laki-laki
yang busuk. Terus saja aku respon kalimat-kalimat piciknya itu dengan tubuhku
yang mematung menahan air mata hingga akhirnya aku memutuskan pergi
meninggalkan apartemennya, meski kemudian dari kejauhan suaranya masih lantang mempengecutkanku dari balik
pintu.
Aku tahu aku tak akan pernah bisa mendebatnya. Aku memutuskan
untuk diam dan bersikap hirau. Mungkin hanya kau yang bisa kuajak bercerita.
Setiap malam bahkan selalu saja aku berkhayal dirinya meliuk-liukkan tubuhnya
di depanku. Menyodorkan pinggulnya di antara kedua kakiku. Dan membiarkan
penjaga mini market itu menjelma menjadi penari nudis profesional untuk
menuruti birahiku. Sayangnya aku hanya bisa terus berkhayal sekarang.
Beberapa jam yang lalu aku memutuskan langsung pergi ke
tempat tinggal baruku di Santa Marta. Setelah dua bulan aku tidur
berpindah-pindah ke rumah-rumah rekanku di Bogota, akhirnya aku menemukan
apartemen kecil yang aku beli setengah harga, hasil dari patungan dengan salah
seorang rekan dari Bogota yang menguntitku dan memutuskan untuk menemaniku
pindah ke apartemen baru.
Saat itu aku sudah tiba terlebih dulu di apartemen baruku.
Rekanku berkata akan pergi menyusul karena masih ada urusan yang perlu ia
selesaikan di Bogota. Tiba-tiba saja aku terkejut menatap Sonya yang berdiri di
depan pintu setelah berkali-kali mengetuknya yang memang sengaja kubiarkan
terbuka. “Sonya, apa yang kau lakukan di sini? Darimana kau tahu aku tinggal di
tempat ini?”
“Kau tak perlu naif, Dito. Aku kemari hanya untuk mengantar
surat cerai yang perlu kau tanda tangani.”
Sungguh, apakah begitu mudah bagi seseorang untuk melupakan
seseorang setelah sekian lama bersama? Padahal aku masih ingat dua tahun lalu
ketika air matanya mengucur deras ke pelupuk mata dan menyeka tiap gurat riasan
yang biasa ia solek ke paras cantiknya. Nampak begitu berat saat ia memutuskan
untuk berpisah dua tahun silam. Ah, benar, aku mungkin sudah lupa. Aku ingat
aku pernah mengatakan padamu bahwa kala itu ia sedang bersandiwara entah untuk
alasan apa. Mungkin orang-orang Bogota memang selalu berebut untuk memainkan
peran mereka di panggung masing-masing.
Ah, aku sudah tak sudi lagi untuk menatapnya lama-lama. Aku
segera menandatanganinya dan mengusir halus dirinya, memintanya agar tak
lagi-lagi ia datang menemuiku.
Mendadak rekanku yang baru tiba memekik. “Dito, kenapa
mantan istrimu tahu kita ada di sini? Aku baru berpapasan dengannya tadi, dan
dia baru saja meludahiku dengan sengaja.”
Ya, dia adalah rekan yang akan tinggal denganku. Aku tak
perlu menyebut namanya padamu. Kau boleh berhenti mendengar ceritaku dan
meninggalkanku untuk menenagkannya sebentar.
O, andai kau tahu apa yang kami lakukan di dalam. Aku tak
perlu bersusah payah menenangkan rekanku. Aku hanya perlu merespon berondongan
celotehannya dengan ciuman panjang dan bisikan-bisikan rayuan mengenai sepasang
malaikat yang bercinta sepanjang waktu dan mengabaikan Tuhannya, karena Tuhan
yang mereka kenal juga sudah terlalu sering mengabaikan mereka dan
malaikat-malaikat yang lain ketika surga tempat mereka tinggal sudah berubah
menyerupai neraka.
“O, Dito”
“O, Karen.”
Andai kau masih berdiri di balik pintu apartemenku dan
mendengar deru desah kami selagi kami bercumbu dan memanggil nama satu sama
lain setelah kami menemukan sisa-sisa surga yang masih bisa Tuhan beri,
barangkali kau pun akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah sudah ku
katakan padamu bahwa tak ada orang-orang Bogota yang akan berkata jujur padamu?
Cerpen Karangan : RioRakasiwi